Artikel

Artikel

Martin Luther

Posted 22/10/2014 | 12:10

Martin Luther (10 November 1483~18 Februari 1546) Dia lahir di Eisleben, Saxony, Jerman pada malam St. Martin, dari sanalah ia mendapat nama. Orang tuanya bernama Hans (John) dan Gretha (Margaret) Luther. Ayahnya dulu seorang petani yang kemudian menjadi seorang buruh tambang. Keluarganya pindah ke Mansfeld, sekitar enam mil dari Eisleben, enam bulan setelah kelahiran Martin Luther. Luther bersekolah ketika masih sangat muda. Dia sangat senang membaca. Sesuai dengan situasi jaman, disiplin sangat keras dan kasar di sekolah dan di rumah. Suatu kali dia dipukul oleh gurunya 15 kali pada hari yang sama karena kesalahan yang tidak dibuatnya. Ayahnya juga memukul dia karena dia dipukul di sekolah. Pada suatu ketika ibunya memukul dia dengan keras hingga berdarah, karena mencuri kacang. Kemudian, Luther menyebut sekolah di Mansfeld sebagai Tempat Pencucian Dosa Mansfeld.

Lalu Luther bersekolah di Magdeburg dan Eisenach. Dia terlalu miskin untuk membayar uang sekolah, sehingga dia menyanyi dari pintu ke pintu untuk mendapatkan uang. Seorang wanita yang baik dan saleh, Ursula Cotta, menawarkan tinggal bersama keluarganya selama empat tahun masa studinya. Ursula Cotta, seorang pecinta musik, mengajar Luther untuk bermain seruling dan kecapi. Lalu Luther belajar di Universitas Erfurt mendapat BA di tahun 1502 dan MA di tahun 1505. Sesuai dengan harapan ayahnya di bulan Mei 1505, Luther mulai belajar hukum. Pada Juli 1505, Luther terjebak dalam badai besar dan dalam ketakutan akan hidupnya dia berteriak, “St. Anne, aku akan menjadi seorang biarawan!” Sumpahnya terjadi di atas dirinya. Tahun 1505, dia memasuki Biara Augustinian di Erfurt. Orang tuanya sangat marah, karena mereka berharap ia menjadi seorang pengacara. Motivasi atas keputusan singkatnya dia jelaskan sekitar enambelas tahun kemudian. “Aku tidak pernah bermaksud menjadi seorang biarawan, atau untuk mematikan keinginan dagingku, tapi karena tersiksa oleh ketakutan dan takut mati, aku mengambil sumpah yang terpasa dan mendadak.” Di dalam biara dia giat mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggu jiwanya siang dan malam: “Bagaimana aku bisa menemukan Allah yang agung? Bagaimana aku tahu Allah di pihakku dan bukan melawan aku? Apa yang dapat aku lakukan untuk menyenangkan Allah, memuaskan Allah, meminta hak pada Allah?” Luther bukan biarawan biasa, tapi seorang yang cermat. Dia pergi tanpa makanan dan minuman berhari-hari. Di musim dingin, dia tidur di atas lantai batu di ruangan di biaranya tanpa selembar selimut hingga dia kedinginan sampai ke tulang. Tapi dia selalu bertanya pada dirinya, “Apakah aku sudah cukup kelaparan?” “Apakah aku sudah cukup kedinginan?” “Sudah cukupkah aku menderita?” “Apakah ada yang cukup untuk memuaskan Allah?” Dia akan pergi mengaku dosa dan sekali lagi, mencurahkan semua dosanya tapi tetap tidak ada kelepasan. Dia bahkan mulai meragukan kebaikan dan belas kasih Allah. Orang yang menerima pengakuan dosanya berkata, ”Saudara, kamu membuat semuanya menjadi sulit, kamu hanya perlu mengasihi Allah.” Luther menyangkal, “Mengasihi Allah? Aku benci Dia!”

Walaupun demikian, Luther dibantu dalam keselamatannya oleh John Staupitz, seorang biarawan tua, dan pembacaan Alkitabnya. “John Staupitz, yang Tuhan kirim kepada Luther dengan pesan tentang rahmat, adalah pendeta besar Augustines bagi seluruh Jerman. Kunjungan dari orang baik ini – pendeta besar – untuk memeriksa biara di Erfurt diberitahukan tepat pada saat penderitaan pikiran Luther mencapai puncaknya. Badan yang kurus, penampilan yang melankolis, namun wajah yang bersungguh-sungguh dan pasti dari biarawan muda itu menarik perhatian Staupitz. Dari pengalaman yang lampau dia mengetahui dengan baik penyebab kekecewaannya, dan dengan baik hati mengarahkan serta menenangkan dia. Dia meyakinkan Luther bahwa salah besar jika mengira bahwa ia dapat berdiri di hadapan Allah berdasarkan pada pekerjaan atau sumpahnya; dia hanya bisa diselamatkan oleh rahmat Allah, dan rahmat tersebut harus mengalir kepadanya melalui iman oleh darah Kristus. ‘Biarlah pekerjaan utamamu adalah mempelajari ayat-ayat kitab suci,’ kata Staupitz; dan bersamaan dengan nasihat baik ini, dia memberi Luther sebuah Alkitab, benda yang paling dia inginkan di atas muka bumi ini. “Seberkas sinar ilahi telah memancar ke dalam pikiran gelap Luther. Percakapan dan surat-menyuratnya dengan pendeta besar itu telah sangat membantunya, tapi dia masih seorang asing untuk berdamai dengan Allah. Tubuhnya yang sehat kembali memberi jalan mengatasi pertentangan jiwanya. Pada tahun kedua tinggal di biara, dia sakit parah sehingga harus dipindahkan ke rumah sakit. Semua ketakutannya dahulu muncul kembali pada saat mendekati kematian. Dia masih acuh tak acuh pada nilai pekerjaan Kristus yang telah digenapi pada diri kaum beriman, demikian pula para gurunya. Gambar kesalahannya sendiri yang menakutkan dan tuntutan akan hukum kudus Allah memenuhi dirinya dengan ketakutan. Bukan sebagai orang pada umumnya dan melewati pengalaman yang tidak akan dimengerti oleh orang pada umumnya; dia tidak bisa menceritakan kesedihannya pada siapapun. “Suatu hari, saat dia terbaring, diliputi oleh keputus-asaan, dia dikunjungi oleh seorang biarawan tua, yang berbicara kepadanya jalan damai sejahtera. Dimenangkan oleh kebaikan kata-kata biarawan itu, Luther membuka hatinya kepada birawan itu. Bapa yang mulia itu berbicara padanya tentang khasiat iman, dan mengulangi artikel di dalam Iman Rasul: ‘Aku percaya pada pengampunan dosa.’ Kata-kata sederhana ini, dengan rahmat Tuhan kelihatannya telah memalingkan pikiran Luther dari pekerjaan pada iman. Dia telah sangat akrab dengan kata-kata ini sejak kecil, tapi dia hanya mengulanginya sekedar sebagai kata-kata saja, seperti ribuan orang Kristen di sepanjang jaman. “Sekarang mereka mengisi hatinya dengan harapan dan penghiburan. Biarawan tua, mendengar dia mengulangi kata-kata tersebut pada dirinya sendiri, ‘Aku percaya pada pengampunan dosa,’ seolah-olah untuk memahami kedalamannya, menyelanya dengan berkata bahwa itu bukan sekedar kepercayaan yang umum tetapi personal. Aku percaya pada pengampunan dosa, bukan pada dosa Daud atau dosa Petrus, tapi atas dosa-dosaku. Bahkan iblis mempunyai kepercayaan yang umum tapi tidak yang personal. ‘Dengar apa yang St. Bernard katakan, ‘lanjut pendeta tua dan saleh: ‘Kesaksian Roh Kudus kepada hatimu adalah, dosa-dosamu diampuni .’ Sejak saat itu terang Ilahi telah masuk ke dalam hati Luther, dan, perlahan-lahan, melalui rajin belajar Firman dan berdoa, dia menjadi seorang pelayan Tuhan yang besar dan dihormati” (Sejarah Gereja Miller, hal.621—622)

Kita lanjutkan dengan pertobatan Luther. Sebelumnya dia telah mengerti keadilbenaran dalam Rom. 1:17 sebagai hukuman Allah yang kudus pada manusia berdosa. Kemudian, dia mulai menyadari bahwa pemikiran Perjanjian Baru mengenai keadilbenaran bukan hukuman tapi sifat Allah untuk menyatakan rahmat dan pengampunan. Luther kemudian menulis, “Aku sangat rindu mengerti surat Paulus pada orang-orang di Roma, dan tidak ada yang lain kecuali satu ungkapan, ‘keadilbenaran Allah,’ sebab aku ingin menunjukkan bahwa Allah itu adilbenar dan menanggulangi secara adilbenar ketika menghukum yang tidak benar… Siang dan malam aku merenungkan hingga… Aku menangkap kebenaran bahwa keadilbenaran Allah yaitu keadilbenaran yang melalui kasih karunia dan rahmat belaka, Dia membenarkan kita oleh iman. Oleh sebab itu aku merasa diriku lahir kembali dan dan telah melalui pintu terbuka menuju surga. Seluruh Kitab Suci memberi arti baru, dan dimana sebelumnya keadilbenaran Allah telah memenuhi aku dengan kebencian, sekarang itu menjadi manis tak terkatakan dalam kasih yang besar.” (Catatan penulis: Pada masa Luther, “bertobat” dalam Alkitab terjemahan Bahasa Latin diterjemahkan sebagai “melakukan penebusan dosa.” Tetapi dalam Bahasa Yunani menjadi “berubah pikiran.” Jadi, itu menyimpangkan pemahaman yang tepat akan pertobatan pada masa Luther.)

Melanchton, sekerja Luther, berdiri di Pengakuan Augsburg dengan bantuan Luther, yang meliputi pembenaran oleh iman dan dasar lain dari teologi Luther. Luther tetap sebagai orang yang sibuk sampai akhir hayatnya. Tulisannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebanyak 55 volume. Luther adalah seorang penyair juga ahli musik. Dia menulis 37 kidung, 12 diantaranya terjemahan Latin. Luther meninggal pada usia 62 di Eisleben dan ketika dia menghembuskan nafas terakhirnya, dia terdengar mengulangi Yoh 3:16.



Fitur komentar ditutup.