Tiga Status Baru Kita
Efesus 2:14-16 memberitahu kita bahwa tatkala Kristus mati di atas salib, Dia tidak saja menanggulangi dosa‑dosa, manusia lama, Iblis, dan dunia, Dia pun menanggulangi peraturan‑peraturan. Dalam daging‑Nya, Kristus telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya di atas salib. Peraturan‑peraturan, berbagai cara hidup, termasuk berbagai tata cara penyembahan itu harus dibatalkan oleh Kristus di atas salib, agar Dia dapat menciptakan satu manusia baru di dalam diri‑Nya. Tidak peduli apa latar belakang kita, asal kita adalah kaum beriman, kita telah diciptakan menjadi satu manusia baru di dalam Kristus.
Berbicara tentang manusia baru, Kolose 3:11 mengatakan, "Dalam hal ini tidak ada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu." Dalam manusia baru tidak ada lagi orang Yunani atau Yahudi, orang Barbar atau Skit, budak atau orang merdeka, sebab cara hidup yang dahulu di antara orang‑orang itu telah disingkirkan. Tidak dapat disangsikan, dalam kehidupan gereja kita terdapat orang‑orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Namun, menurut kata‑kata Paulus dalam Efesus 4:22, kita semua harus menanggalkan cara hidup kita yang lama. Selain peraturan‑peraturan orang Yahudi, segala cara hidup kita adalah warisan Babel, dan apa yang harus kita perbuat terhadap warisan ini adalah menguburnya.
Sebagai bagian dari satu manusia baru, aspek pertama dari status kita adalah menjadi kawan sewarga dari orang-orang kudus. Efesus 2:19 mengatakan, "Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah. " Kini kita bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus. Ungkapan "kawan sewarga" menunjukkan Kerajaan Allah. Semua orang beriman, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi, adalah warga negara dalam Kerajaan Allah. Kewarganegaraan ini mencakup hak-hak dan kewajiban kita. Kita menikmati hak-hak kerajaan, kita pun mengemban tanggung jawab kerajaan. Kedua hal ini selalu bergandengan.
Ayat 19 mewahyukan aspek kedua dari status kita, yakni sebagai "anggota‑anggota keluarga Allah". Ungkapan ini menunjukkan rumah Allah. Kaum beriman Yahudi dan bukan Yahudi adalah anggota keluarga Allah. Keluarga Allah adalah masalah hayat dan kenikmatan; semua orang beriman dilahirkan dari Allah ke dalam rumah‑Nya (keluarga‑Nya) untuk menikmati kekayaan‑Nya. Kerajaan Allah adalah masalah hak dan kewajiban; semua orang percaya yang dilahirkan ke dalam rumah Allah memiliki hak sipil dan kewajiban dalam Kerajaan Allah. Dalam ayat yang pendek ini tercakup dua perkara yang dalam: Kerajaan Allah berikut hak dan kewajibannya dan rumah atau keluarga Allah berikut kenikmatan hayat dan kekayaan Bapa.
Ayat 19 menyinggung tentang kaum saleh, keluarga Allah, dan Kerajaan Allah. Kaum saleh itu bersifat individual, tetapi keluarga Allah bersifat korporat dan menghasilkan Kerajaan Allah. Tanpa keluarga tidak mungkin ada kerajaan. Pertama‑tama kita adalah kaum saleh yang individual, kemudian kita adalah keluarga Allah yang korporat dan yang akhirnya menjadi Kerajaan Allah. Karena itu, kita tidak saja memiliki aspek individual dari kehidupan orang Kristen, juga memiliki kehidupan keluarga Allah dan Kerajaan Allah pada aspek korporat. Menjadi anggota keluarga Allah tidak seharusnya hanya dalam doktrin kita, tetapi juga dalam pengalaman kita. Dalam alam semesta Allah hanya memiliki satu keluarga, satu rumah tangga. Tidak peduli apa latar belakang kita, sebagai kaum beriman, kita semua adalah anggota keluarga Allah yang universal dan unik ini, dan seluruh orang kudus adalah kerabat kita. Betapa akrabnya hubungan yang kita miliki di antara keluarga Allah!
Aspek ketiga dari status baru kita adalah menjadi tempat kediaman Allah. Dalam ayat 21 kita nampak gereja pada aspek universal: "Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan." Kemudian dalam ayat 22 kita nampak gereja pada aspek lokal: "Di dalam Dia kamu juga turut dibangun menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh." Sebagai Tubuh Kristus, gereja telah dilahirkan kembali dan perlu bertumbuh dalam hayat, sebagai rumah Allah, gereja sedang dibangun. Pertumbuhan dan pembangunan kelihatannya merupakan dua hal, tetapi pada hakekatnya pembangunan rumah sama dengan pertumbuhan Tubuh. Jika Tubuh tidak bertumbuh, rumah pun tidak terbangun. Karena bangunan ini hidup (I Ptr. 2:5), ia sedang bertumbuh. Bangunan ini bertumbuh menjadi Bait Allah yang kudus. Pembangunan gereja yang sesungguhnya sebagai rumah Allah adalah oleh pertumbuhan kaum beriman dalam hayat. Hari ini gereja sedang bertumbuh, tetapi bukan bertumbuh dalam hayat alamiah kita, melainkan bertumbuh dalam hayat ilahi, hayat rohani.
Ayat 22 menerangkan, "Di dalam Dia kamu juga turut dibangun menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh." Dalam ayat ini Paulus mengatakan bahwa orang‑orang kudus setempat, yaitu orang‑orang kudus di Efesus, terbangun bersama dalam Kristus menjadi tempat kediaman Allah. Apakah perbedaan antara Bait suci dengan tempat kediaman Allah? Bait dan tempat kediaman mengacu kepada kedua aspek dari satu hal yang sama. Bait adalah tempat umat Allah mengontak Allah, menyembah Allah, dan mendengar firman Allah, sedang tempat kediaman ialah tempat untuk beristirahat, perhentian. Allah mendapatkan perhentian di tempat kediaman‑Nya. Tetapi bait dan tempat kediaman bukan dua tempat yang berbeda. Gereja adalah tempat umat Allah mengontak Allah, menyembah‑Nya, dan menerima firman‑Nya, juga tempat Allah mendapatkan perhentian.
Ayat 22 juga mengatakan bahwa kita dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh. Roh di sini ditujukan kepada roh insani kaum beriman yang dihuni oleh Roh Kudus Allah. Tempat kediaman ini adalah roh kaum beriman. Bagi pembangunan tempat kediaman Allah, Tuhan bersatu dengan roh kita dan roh kita bersatu dengan Tuhan. Jadi, roh kita adalah tempat di mana pembangunan gereja itu berada. Pembangunan ini bukan dalam pikiran, emosi, jiwa, atau hati kita, melainkan mutlak suatu perkara yang terdapat dalam roh kita.